Senin, 19 September 2011

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN ANEMIA DEFISIENSI BESI



A.    KONSEP DASAR PENYAKIT ANEMIA DEFISIENSI BESI

1.      DEFINISI
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb) berkurang. Gambaran diagnosis etiologis dapat ditegakkan dari petunjuk patofisiologi, patogenesis, gejala klinis, pemeriksaan laboratorium, diagnosis banding, penatalaksanaan dan terapi. Beberapa zat gizi diperlukan dalam pembentukan sel darah merah. Yang paling penting adalah zat besi, vitamin B12 dan asam folat, tetapi tubuh juga memerlukan sejumlah kecil vitamin C, riboflavin dan tembaga serta keseimbangan hormone, terutama eritroprotein. Tanpa zat gizi dan hormone tersebut, pembentukan sel darah merah akan berjalan lambat dan tidak mencukupi, dan selnya bisa memiliki kelainan bentuk dan tidak mampu mengangkut oksigen sebagaimana mestinya, (Bakta, I.M ., 2007).
Anemia Karena Kekurangan Zat Besi adalah suatu keadaan dimana jumlah sel darah merah atau hemoglobin (protein pengangkut oksigen) dalam sel darah berada dibawah normal, yang disebabkan karena kekurangan zat besi. Beberapa zat gizi diperlukan dalam pembentukan sel darah merah. Yang paling penting adalah zat besi, vitamin B12 dan asam folat; tetapi tubuh juga memerlukan sejumlah kecil vitamin C, riboflavin dan tembaga serta keseimbangan hormon, terutama eritropoietin (hormon yang merangsang pembentukan sel darah merah).
Tanpa zat gizi dan hormon tersebut, pembentukan sel darah merah akan berjalan lambat dan tidak mencukupi, dan selnya bisa memiliki kelainan bentuk dan tidak mampu mengangkut oksigen sebagaimana mestinya. Penyakit kronik juga bisa menyebabkan berkurangnya pembentukan sel darah merah. Asupan normal zat besi biasanya tidak dapat menggantikan kehilangan zat besi karena perdarahan kronik dan tubuh hanya memiliki sejumlah kecil cadangan zat besi. Sebagai akibatnya, kehilangan zat besi harus digantikan dengan tambahan zat besi. Janin yang sedang berkembang menggunakan zat besi, karena itu wanita hamil juga memerlukan tambahan zat besi. Makanan rata-rata mengandung sekitar 6 mgram zat besi setiap 1.000 kalori, sehingga rata-rata orang mengkonsumsi zat besi sekitar 10-12 mgram/hari.
Sumber yang paling baik adalah daging yaitu serat sayuran, fosfat, kulit padi (bekatul) dan antasid mengurangi penyerapan zat besi dengan cara mengikatnya. Vitamin C merupakan satu-satunya unsur makanan yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi. Tubuh menyerap sekitar 1-2 mgram zat besi dari makanan setiap harinya, yang secara kasar sama degnan jumlah zat besi yang dibuang dari tubuh setiap harinya.
Tabel 1. Zat Besi Dalam Bahan Makanan
No.
Bahan Makanan
Zat Besi (mg/100 g)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Hati
Dafing Sapi
Ikan
Telur Ayam
Kacang-kacangan
Tepung Gandung
Sayuran Hijau Daun
Umbi-umbian
Buah-buahan
Beras
Susu Sapi
6,0 sampai 14,0
2,0 sampai 4,3
0,5 sampai 1,0
2,0 sampai 3,0
1,9 sampai 14,0
1,5 sampai 7,0
0,4 sampai 18,0
0,3 sampai 2,0
0,2 Sampai 4,0
0,5 sampai 0,8
0,1 sampai 0,4
Sumber : Davidson, dkk, 2000 dalam Husaini, 2002
Zat gizi yang telah dikenal luas dan sangat berperanan dalam meningkatkan absorpsi zat besi adalah vitamin C. Vitamin C dapat meningkatkan absorpsi zat besi nonhem sampai empat kali lipat. Vitamin C dengan zat besi mempunyai senyawa ascorbat besi kompleks yang larut dan mudah diabsorpsi, karena itu sayur-sayuran segar dan buah-buahan yang mengandung banyak vitamin C baik dimakan untuk mencegah anemia .Selain faktor yang meningkatkan absorpsi zat besi seperti yang telah disebutkan, ada pula faktor yang menghambat absorpsi zat besi. Faktor-faktor yang menghambat itu adalah tannin dalam the, phosvitin dalam kuning telur, protein kedelai, phytat, fosfat, kalsium, dan serat dalam bahan makanan (Monsen and Cook dalam Husaini, 1989). Zat-zat gizi ini dengan zat besi membentuk senyawa yang tak larut dalam air, sehingga lebih sulit diabsorpsi. Seseorang yang banyak makan nasi, tetapi kurang makan sayur-sayuran serta buah-buahan dan lauk-pauk, akan dapat menjadi anemia walaupun zat besi yang dikonsumsi dari makanan sehari-hari cukup banyak. Kecukupan konsumsi zat besi Nasional yang dianjurkan untuk anak balita berumur 1-3 tahun adalah 8 mg, sedangkan untuk anak balita berumur 4-6 tahun adalah 9 mg (Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi, 2003).

2.      EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari 50% penderita ini adalah ADB da terutama mengenai bayi, anak sekolah, ibu hamil dan menyusui. Di Indonesia masih merupakan masalah gizi utama selain kekurangan kalori protein, vitamin A dan yodium. Penelitian di Indonesia mendapatkan prevalensi ADB pada anak balita sekitar 30 - 40%, pada anak sekolah 25 - 35% sedangkan hasil SKRT 1992 prevalensi ADB pada balita sebesar 5,55%. ADB mempunyai dampak yang merugikan bagi kesehatan anak berupa gangguan tumbuh kembang, penurunan daya tahan tubuh dan daya konsentrasi serta kemampuan belajar sehingga menurunkan prestasi belajar di sekolah.
3.      ETIOLOGI
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang dapat berasal dari :
a.       Saluran Cerna : akibat dari tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
b.      Saluran genitalia wanita : menorrhagia, atau metrorhagia
c.       Saluran kemih : hematuria
d.      Saluran napas : hemoptoe.

Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi (bioavaibilitas) besi --yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging.Kebutuhan besi meningkat : seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan.Gangguan absorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik. Pada orang dewasa, anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik hamper identik dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki ialah perdarahan gastrointestinal,di negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sementara itu, pada wanita paling sering karena menormetrorhagia.

4.      PATOFISIOLOGI
Zat besi (Fe) diperlukan untuk pembuatan heme dan hemoglobin (Hb). Kekurangan Fe mengakibatkan kekurangan Hb.Walaupun pembuatan eritrosit juga menurun, tiap eritrosit mengandung Hb lebih sedikit daripada biasa sehingga timbul anemia hipokromik mikrositik. Tubuh mendaur ulang zat besi, yaitu ketika sel darah merah mati, zat besi di dalamnya dikembalikan ke sumsum tulang untuk digunakan kembali oleh sel darah merah yang baru.Tubuh kehilangan sejumlah besar zat besi hanya ketika sel darah merah hilang karena perdarahan dan menyebabkan kekurangan zat besi. Kekurangan zat besi merupakan salah satu penyebab terbanyak dari anemia dan satu-satunya penyebab kekurangan zat besi pada dewasa adalah perdarahan. Makanan yang mengandung sedikit zat besi bisa menyebabkan kekurangan pada bayi dan anak kecil, yang memerlukan lebih banyak zat besi untuk pertumbuhannya. Pada pria dan wanit pasca menopause, kekurangan zat besi biasanya menunjukkan adanya perdarahan pada saluran pencernaan. Pada wanita pre-menopause, kekurangn zat besi bisa disebabkan oleh perdarahan menstruasi bulanan.
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum (misalnya berkurangnya eritropoesis) dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor, atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi). Pada kasus yang disebut terakhir, masalahnya dapat akibat defek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah normal atau akibat beberapa faktor di luar sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel darah merah.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik atau dalam sistem retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping proses ini, bilirubin, yang terbentuk dalam fagosit, akan memasuki aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direfleksikan dengan peningkatan bilirubin plasma.
Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, seperti yang terjadi pada berbagai kelainan hemolitik, maka hemoglobin akan muncul dalam plasma (hemoglobinemia). Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobin bebas) untuk mengikat semuanya. Hemoglobin akan terdisfusi dalam glomerulus ginjal dan ke dalam urin (hemoglobinuria).
Karena jumlah efektif SDM berkurang, maka pengiriman O2 ke jaringan menurun. Kehilangan darah yang mendadak (30% atau lebih), seperti pada perdarahan, mengakibatkan gejala-gejala hipovolemia dan hiposekmia, termasuk kegelisahan, disforesis (keringat dingin), takikardia, napas pendek, dan brkembang cepat menjadi kolaps sirkulasi atau syok. Namun, berkurangnya massa SDM dalam waktu beberapa bulan (bahkan pengurangan sebanyak 50 %) memungkinkan mekanisme kompensasi tubuh untuk beradaptasi, dan pasien biasanya asimptomatik, kecuali pada kerja fisik berat. Tubuh beradaptasi dengan meningkatkan curah jantung dan pernapasan, oleh karena itu meningkatkan pengiriman O2 ke jaringan-jaringan oleh SDM, meningkatkan pelepasan O2 oleh hemoglobin, mengembangkan volume plasme dengan menarik cairan dari sela-sela jaringan, dan redistribusi aliran darah ke organ-organ vital.
Salah satu dari tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah pucat. Keadaan ini umumnya diakibatkan dari berkurangnya volume darah, berkurangnya hemoglobin, dan vasokonstriksi untuk memaksimalkan pengiriman O2 ke organ-organ vital. Takikardia dan bising jantung (suara yang disebabkan oleh peningkatan kecepatan aliran darah) mencerminkan beban kerja dan curah jantung yang meningkat. Angina (nyeri dada), khususnya pada orang tua dengan stenosis koroner, dapat disebabkan oleh iskemia miokardium.




























5.      PATOGENESIS
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan zat besi sehingga cadangan zat besi makin menurun. Jika cadangan kosong maka keadaan ini disebut iron depleted state. Apabila kekurangan zat besi berlanjut terus maka penyediaan zat besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit, tetapi anemia secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut iron deficient erythropoiesis.Selanjutnya timbul anemia hipokromik mikrositer sehingga disebut iron deficiency anemia.
6.      GEJALA KLINIS
Anemia pada akhirnya menyebabkan kelelahan, sesak nafas, kurang tenaga dan gejala lainnya. Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tidak dijumpai pada anemia jenis lain, seperti :
Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang
Glositis : iritasi lidah
Keilosis : bibir pecah-pecah
Koilonikia : kuku jari tangan pecah-pecah dan bentuknya seperti sendok.1
---
Dampak AGB :      
1.      Anak-anak :
a.       Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar.
b.      Menghambat pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan otak.
c.       Meningkatkan risiko menderita penyakit infeksi karena daya tahan tubuh menurun.
2.      Wanita :
a.       Anemia akan menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah sakit.
b.      Menurunkan produktivitas kerja.
c.       Menurunkan kebugaran.
3.      Remaja putri :
a.       Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar.
b.      Mengganggu pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai optimal.
c.       Menurunkan kemampuan fisik olahragawati.
d.      Mengakibatkan muka pucat.
4.      Ibu hamil :
a.       Menimbulkan perdarahan sebelum atau saat persalinan.
b.      Meningkatkan risiko melahirkan Bayi dengan Berat Lahir Rendah atau BBLR (<2,5 kg).
c.       Pada anemia berat, bahkan dapat menyebabkan kematian ibu dan/atau bayinya.

7.      PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut:
1.      Kadar hemoglobin (Hb) dan indeks eritrosit. Didapatkan anemia mikrositer hipokromik dengan penurunan kadar Hb mulai dari ringan sampai berat. RDW meningkat yang menunjukan adanya anisositosis. Indeks eritrosit sudah mengalami perubahan sebelun kadar  Hb menurun. Apusan darah menunjukkan anemia mikrositer hipokromik, anisositosis, poikilositosis anulosit, leukosit dan trombosit normal, retikulosit rendah.
2.      Kadar besi serum menurun kurang dari 50 mg/dl, total iron binding capacity (TIBC) menigkat lebih dari 350 mg/dl dan saturasi transferin kurang dari 15%.
3.      Kadar serum feritin. Jika terdapat inflamasi, maka feritin serum sampai dengan 60 Ug/dl.
4.      Protoporfirin eritrosit meningkat (lebih dari 100 Ug/dl)
5.      Sumsum tulang. Menunjukkan hiperflasia normoblastik dengan normoblast kecil-kecil dominan.
Pemeriksaan Diagnostik :
1)      Anamnesis : Sindrom anemia.
2)      Pemeriksaan fisik : Gejala anemia dan penyakit dasar.
3)      Pemeriksaan laboratorium :
a)      Tes penyaring (screening test) : Kadar Hb, indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC), hapusan darah tepi.
b)      Pemeriksaan rutin : LED, hitung retikulosit.
c)      Pemeriksaan sumsum tulang.
d)     Pemeriksaan atas indikasi khusus : Besi serum, TIBC, serum ferritin, asam folat, vitamin B12, tes coomb, elektroforesis Hb, pemeriksaan sitokimia, tes faal hemotasis.
4)      Pemeriksaan laboratorium non hematologik :
a)      Faal ginjal.
b)      Faal hati.
c)      Faal endokrin.
5)      Pemeriksaan penunjang :
a)      Biopsi kelenjar getah bening.
b)      Radiologi.

8.      DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang diteliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Secara laboratorik untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi sebagai berikut :
Adanya riwayat perdarahan kronis atau terbukti adanya sumber erdarahan.
Laboratorium : Anemia hipokrom mikrosister, Fe serum rendah, TIBC tinggi.
Tidak terdapat Fe dalam sumsum tulang (sideroblast-)
Adanya respons yang baik terhadap pemberian Fe.

Diagnosis banding :
-          Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya, seperti :
-          Thalasemia (khususnya thallasemia minor) : Hb A2 meningkat, Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun.
-          Anemia karena infeksi menahun : Biasanya anemia normokromik normositik. Kadang-kadang terjadi anemia hipokromik mikrositik. Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun.
-          Keracunan timah hitam (Pb) : terdapat gejala lain keracunan P.
-          Anemia sideroblastik : terdapat ring sideroblastik pada pemeriksaan sumsum tulang.

9.      PENATALAKSANAAN
Setelah diagnosis ditegakan maka dibuat rencana pemberian terapi, terapi terhadap anemia difesiensi besi dapat berupa :
-          Terapi kausal: tergantung penyebabnya,misalnya : pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengubatan menoragia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali.
-          Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh;
-          Besi per oral : merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman.preparat yang tersedia, yaitu:
-          Ferrous sulphat (sulfas ferosus): preparat pilihan pertama (murah dan efektif). Dosis: 3 x 200 mg.
-          Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous succinate,harga lebih mahal, tetepi efektivitas dan efek samping hampir sama.
-          Besi parenteral : Efek samping lebih berbahaya, serta harganya lebih mahal. Indikasi, yaitu :
Intoleransi oral berat, kepatuhan berobat kurang, kolitis ulserativa, perlu peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi, hamil trimester akhir).

Penatalaksanaan yang juga dapat dilakukan :
-          Mengatasi penyebab perdarahan kronik, misalnya pada ankilostomiasis diberikan antelmintik yang sesuai.
-          Pemberian preparat Fe : Pemberian preparat besi  (ferosulfat/ferofumarat/feroglukonat)  dosis 4-6 mg besi elemental/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, diberikan di antara waktu makan. Preparat besi ini diberikan sampai 2-3 bulan setelah kadar hemoglobin normal.
-          Bedah : Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti perdarahan karena diverticulum Meckel.
-          Suportif : Makanan gizi seimbang terutama yang megandung kadar besi tinggi yang bersumber dari hewani (limfa, hati, daging) dan nabati (bayam, kacang-kacangan).


B.     Konsep Asuhan Keperawatan
  1. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994).
Pengkajian adalah hal yang paling penting dilakukan oleh perawat untuk mengenal masalah pasien agar dapat menjadi pedoman dalam melakukan tindakan keperawatan. Pada pengkajian pasien anemia didapatkan data sebagai berikut:
a) Data subjektif, yaitu pasien mengatakan letih, lemah, lesu, cepat lelah, jantungnya berdebar-debar, tidak nafsu makan, mual, muntah, diare, aktivitasnya terganggu, pusing, sakit kepala, sulit tidur, menstruasi tidak normal, dadanya terasa sakit, matanya berkunang, sesak nafas, nafsu seks berkurang, sulit BAB, BAB berdarah, muntah darah, berat badan menurun, tidak memahami tentang penyakitnya.
b). Data objektif, yaitu takikardi, dispne, ortopnu, rambut dan kulit kering, kardiomegali, hepatomegali, edema perifer, penurunan berat badan, glositis, hilangnya libido, perubahan aliran menstruasi, melena, hematemesis, diare, konstipasi, konjungtiva pucat, bibir kering.
Pengkajian pasien dengan anemia defisiensi besi (Doenges, 1999) meliputi :

1)   Aktivitas / stirahat
Gejala : keletihan, kelemahan, malaise umum. Kehilangan produktivitas ; penurunan semangat untuk bekerja. Toleransi terhadap latihan rendah. Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak.
Tanda : takikardia/ takipnae : dispnea pada waktu bekerja atau istirahat. Letargi, menarik diri, apatis, lesu, dan kurang tertarik pada sekitarnya. Kelemahan otot, dan penurunan kekuatan. Ataksia, tubuh tidak tegak. Bahu  menurun, postur  lunglai, berjalan lambat, dan tanda-tanda lain yang menunujukkan keletihan.
2) Sirkulasi
     Gejala : riwayat kehilangan darah kronik, misalnya perdarahan GI kronis, menstruasi berat ,angina, CHF (akibat kerja jantung berlebihan). Riwayat endokarditis infektif kronis. Palpitasi (takikardia kompensasi).
     Tanda : TD : peningkatan sistolik dengan diastolik stabil dan tekanan nadi melebar, hipotensi postural. Ekstremitas (warna) : Pucat pada kulit dan membrane mukosa (konjuntiva, mulut, faring, bibir) dan dasar kuku. (catatan: pada pasien kulit hitam, pucat dapat tampak sebagai keabu-abuan). pucat (aplastik) atau kuning lemon terang. Sklera : biru atau putih seperti mutiara. Pengisian kapiler melambat (penurunan aliran darah ke kapiler dan vasokontriksi kompensasi) kuku : mudah patah, berbentuk seperti sendok (koilonikia). Rambut : kering, mudah putus, menipis,tumbuh uban secara premature.
3) Integritas       ego
Gejala : keyakinanan agama/budaya mempengaruhi pilihan pengobatan, misalnya penolakan transfuse darah.
Tanda :depresi.
4) Eliminasi
Gejala : riwayat pielonefritis, gagal ginjal. Flatulen, sindrom malabsorpsi (DB). Hematemesis, feses dengan darah segar, melena. Diare atau konstipasi. Penurunan haluaran urine.
     Tanda : distensi abdomen.
5) Makanan/cairan
Gejala : penurunan masukan diet, masukan diet protein hewani rendah/masukan produk sereal tinggi. Nyeri mulut atau lidah, kesulitan menelan (ulkus pada faring). Mual/muntah, dyspepsia, anoreksia. Adanya penurunan berat badan. Tidak pernah puas mengunyah atau peka terhadap es, kotoran, tepung jagung, dan sebagainya.
     Tanda : lidah tampak merah daging/halus (defisiensi asam folat dan vitamin B12). Membrane mukosa kering, pucat. Turgor kulit : buruk, kering, tampak kisut/hilang elastisitas. Stomatitis dan glositis (status defisiensi). Bibir : selitis, misalnya inflamasi bibir dengan sudut mulut pecah.
6) Neurosensori
Gejala : sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, tinnitus, ketidak mampuan berkonsentrasi. Insomnia, penurunan penglihatan, dan bayangan pada mata. Kelemahan, keseimbangan buruk, kaki goyah ; parestesia tangan/kaki (AP) ; klaudikasi.Sensasi manjadi dingin.
     Tanda : peka rangsang, gelisah, depresi cenderung tidur, apatis. Mental : tak mampu berespons, lambat dan dangkal. Oftalmik : hemoragis retina (aplastik). Epitaksis : perdarahan dari lubang-lubang (aplastik). Gangguan koordinasi, ataksia, penurunan rasa getar, dan posisi, tanda Romberg positif, paralysis.
7) Nyeri/kenyamanan
Gejala :nyeri abdomen samara : sakit kepala
8) Pernapasan
Gejala : riwayat TB, abses paru. Napas pendek pada istirahat dan aktivitas.
Tanda   :  takipnea,ortopnea dan dispnea.
9) Keamanan
     Gejala : riwayat pekerjaan terpajan terhadap bahan kimia,. Riwayat terpajan pada radiasi; baik terhadap pengobatan atau kecelekaan. Riwayat kanker, terapi kanker. Tidak toleran terhadap dingin dan panas. Transfusi darah sebelumnya. Gangguan penglihatan, penyembuhan luka buruk, sering         infeksi.
Tanda : demam rendah, menggigil, berkeringat malam, limfadenopati umum. Ptekie dan ekimosis (aplastik).
10) Seksualitas
     Gejala : perubahan aliran menstruasi, misalnya menoragia atau amenore. Hilang libido (pria dan wanita), Impoten.
     Tanda :    serviks dan dinding vagina pucat.
2.    Diagnosa keperawatan (Doenges, 1999) :
a)      Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen atau nutrien ke sel ditandai dengan palpitasi, angina, kulit pucat, membrane mukosa kering, kuku&rambut rapuh, ekstremitas dingin, penurunan haluaran urine, perubahan TD, pengisian kapiler lambat.
b)      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan atau absorpsi nutrien yang diperlukan untuk pembentukan SDM normal ditandai dengan penurunan berat badan/berat badan dibawah normal untuk usia, tinggi, dan bangun badan, penurunan lipatan kulit trisep, perubahan gusi dan membrane mukosa mulut, penurunan toleransi aktivitas, kelemahan dan kehilangan tonus otot .
c)      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dari kebutuhan ditandai dengan kelemahan dan kelelahan, mengeluh penurunan toleransi aktivitas/latihan, lebih banyak memerlukan istirahat/tidur, palpitasi, takikardia, peningkatan TD.
d)     Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit dengan faktor resiko meliputi perubahan sirkulasi dan neurologis (anemia), gangguan mobilitas, defisit nutrisi .
e)      Konstipasi atau diare berhubungan dengan penurunan masukan diet, perubahan proses pencernaan, efek samping terapi obat ditandai dengan perunahan frekuensi, karakteristik dan jumlah feses, mual/muntah, penurunan nafsu makan, laporan adanya nyeri abdomen tiba-tiba, dan gangguan bising usus..
f)       Resiko tinggi terhadap infeksi dengan faktor resiko pertahanan primer tidak adekuat  (misal. kerusakan kulit, statis cairan tubuh; prosedur invasif, penyakit kronis, malnutrisi) dan pertahanan sekunder tidak adekuat ( misal. Penurunan HB, atau penurunan granulosit)
g)      Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi ditandai dengan pertanyaan meminta informasi, pertanyaan salah konsepsi, tidak akurat mengikutu instruksi, terjadi komplikasi yang dapat dicegah.

3.   Intervensi Keperawatan
      Perencanaan keperawatan terdiri atas dua tahap yaitu prioritas diagnosa dan rencana keperawatan. Perencanaan perawatan adalah menyusun rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan pasien. Perencanaan ditulis sesuai dengan prioritas diagnosa yang ada.
a. Dx 1 : Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen / nutrisi ke sel.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam anak menunjukkan perfusi yang adekuat
Kriteria Hasil :
· Tanda-tanda vital stabil
· Membran mukosa berwarna merah muda
· Pengisian kapiler
· Haluaran urine adekuat

Intervensi :
No
Intervensi
Rasional
1.
Ukur tanda-tanda vital, observasi pengisian kapiler, warna kulit/membrane mukosa, dasar kuku.

memberikan informasi tentang keadekuatan perfusi jaringan dan membantu kebutuhan intervensi.
2.
Auskultasi bunyi napas.

dispnea, gemericik menunjukkan CHF karena regangan jantung lama/peningkatan kopensasi curah jantung.
3
Observasi keluhan nyeri dada, palpitasi
Iskemia seluler mempengaruhi jaringan miokardial/potensial resiko infark.
4
Evaluasi respon verbal melambat, agitasi, gangguan memori, bingung
dapat mengindikasikan gangguan perfusi serebral karena hipoksia
5
Evaluasi keluhan dingin, pertahankan suhu lingkungan dan tubuh supaya tetap hangat.

vasokonstriksi (ke organ vital) menurunkan sirkulasi perifer.

Kolaborasi
No
Intervensi
Rasional
1.
Observasi hasil pemeriksaan laboratorium darah lengkap

mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan pengobatan/respons terhadap terapi.

2.
Berikan transfusi darah lengkap/packed sesuai indikasi

meningkatkan jumlah sel pembawa oksigen, memperbaiki defisiensi untuk mengurangi resiko perdarahan
3.
Berikan oksigen sesuai indikasi
memaksimalkan transpor oksigen ke jaringan

b. Dx.2 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan / absorpsi nutrisi yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah (SDM) normal.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam anak mampu mempertahankan berat badan yang stabil
Kriteria hasil :
· Asupan nutrisi adekuat
· Berat badan normal
· Nilai laboratorium dalam batas normal :
Albumin : 4 – 5,8 g/dL
Hb : 11 – 16 g/dL
Ht : 31 – 43 %
Trombosit : 150.000 – 400.000 µL
Eritrosit : 3,8 – 5,5 x 1012

Intervensi :
No.
Intervensi
Rasional
1.
Observasi dan catat masukan makanan anak
mengawasi masukan kalori atau kualitas kekurangan konsumsi makanan
2.
Berikan makanan sedikit dan frekuensi sering
makan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan asupan nutrisi
3.
Observasi mual / muntah, flatus
gajala GI menunjukkan efek anemia (hipoksia) pada organ.
4.
Bantu anak melakukan oral higiene, gunakan sikat gigi yang halus dan lakukan penyikatan yang lembut
meningkatkan napsu makan dan pemasukan oral. Menurunkan pertumbuhan bakteri, meminimalkan kemungkinan infeksi. Teknik perawatan mulut diperlukan bila jaringan rapuh/luak/perdarahan

Kolaborasi
No.
Intervensi
Rasional
1.
Observasi pemeriksaan laboratorium : Hb, Ht, Eritrosit, Trombosit, Albumin
mengetahui efektivitas program pengobatan, mengetahui sumber diet nutrisi yang dibutuhkan
2.
Berikan diet halus rendah serat, hindari makanan pedas atau terlalu asam sesuai indikasi
bila ada lesi oral, nyeri membatasi tipe makanan yang dapat ditoleransi anak
3.
Berikan suplemen nutrisi mis : ensure, Isocal
meningkatkan masukan protein dan kalori.

c. Dx.3 : Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam anak melaporkan peningkatan toleransi aktivitas.
Kriteria hasil :
· Tanda – tanda vital dalam batas normal
· Anak bermain dan istirahat dengan tenang
· Anak melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuan
· Anak tidak menunjukkan tanda – tanda keletihan
Intervensi :
No.
Intervensi
Rasional
1.
Ukur tanda – tanda vital setiap 8 jam

manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen adekuat ke jaringan
2.
Observasi adanya tanda – tanda keletihan ( takikardia, palpitasi, dispnea, pusing, kunang – kunang, lemas, postur loyo, gerakan lambat dan tegang
membantu menetukan intervensi yang tepat
3.
Bantu anak dalam aktivitas diluar batas toleransi anak
mencegah kelelahan
4.
Berikan aktivitas bermain pengalihan sesuai toleransi anak
meningkatkan istirahat, mencegah kebosanan dan menarik diri

d. Dx.4 : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan   resiko kerusakan integritas kulit tidak terjadi. Kriteria hasil : - mengidentifikasi factor risiko/perilaku individu untuk mencegah cedera dermal.
No.
Intervensi
Rasional
1.
Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, hangat local, eritema, ekskoriasi.

Kondisi kulit dipengaruhi oleh sirkulasi, nutrisi dan imobilisasi. Jaringan dapat menjadi rapuh dan cenderung untuk infeksi dan rusak.

2.
Reposisi secara periodic dan pijat permukaan tulang apabila pasien tidak bergerak atau ditempat tidur.

Meningkatkan sirkulasi kesemua kulit, membatasi iskemia jaringan/ mempengarhi  hipoksia seluler.

3
Bantu untuk latihan rentang gerak.

Meningkatkan sirkulasi jaringan, mencegah stasis.


e. Dx. 5 : Konstipasi berhubungan dengan penurunan masukan diet; perubahan proses pencernaan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam anak menunjukan perubahan pola defekasi yang normal.
Kriteria hasil :
· Frekuensi defekasi 1x setiap hari
· Konsistensi feces lembek, tidak ada lender / darah
· Bising usus dalam batas normal
Intervensi :

No
Intervensi
Rasional
1.
Observasi warna feces, konsistensi, frekuensi dan jumlah
membantu mengidentifikasi penyebab / factor pemberat dan intervensi yang tepat
2.
Auskultasi bunyi usus

bunyi usus secara umum meningkat pada diare dan menurun pada konstipasi
3.
Hindari makanan yang menghasilkan gas
menurunkan distensi abdomen

            Kolaborasi
No.
Intervensi
Rasional
1.
Berikan diet tinggi serat
serat menahan enzim pencernaan dan mengabsorpsi air dalam alirannya sepanjang traktus intestinal
2.
Berikan pelembek feces, stimulant ringan, laksatif sesuai indikasi
mempermudah defekasi bila konstipasi terjadi
3.
Berikan obat antidiare mis : difenoxilat hidroklorida dengan atropine (lomotil) dan obat pengabsorpsi air mis Metamucil.

menurunkan motilitas usus bila diare terjadi

f. Dx.6 : Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh sekunder leucopenia, penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan).
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam infeksi  tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
· Tanda – tanda vital dalam batas normal
· Leukosit dalam batas normal
· Keluarga menunjukkan perilaku pencegahan infeksi pada anak

Intervensi
No.
Interverensi
Rasional
1.
Ukur tanda – tanda vital setiap 8 jam.

demam mengindikasikan terjadinya infeksi
2.
Tempatkan anak di ruang isolasi bila memungkinkan dan beri tahu keluarga supaya menggunakan masker saat berkunjung
mengurangi resiko penularan mikroorganisme kepada anak.
3.
Pertahankan teknik aseptik pada setiap prosedur perawatan
mencegah infeksi nosokomial

Kolaborasi
No.
Intervensi
Rasional
1.
Observasi hasil pemeriksaan leukosit
lekositosis mengidentifikasikan terjadinya infeksi dan leukositopenia mengidentifikasikan penurunan daya tahan tubuh dan beresiko untuk terjadi infeksi

g. Dx.7 : Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan  paparan dan tidak familiar dengan sumber informasi serta kurangnya informasi tentang perawatan dan pengobatan penyakitnya.
Tujuan : Setelah di berikan tindakan keperawatan  2x30 menit di harapkan pasien tahu dan mengerti dan tahu tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan.
Kriteria Hasil :
. Pasien dan keluarga mampu mengungkapkan tentang perawatan dan pengobatan penyakit pasien.
. Pasien dan keluarga pasien tidak bertanya lagi tentang keadaan pasien.
. Keluarga ikut terlibat terhadap kesembuhan pasien.

Intervensi :
No.
Intervensi
Rasional
1.
Beri penjelasan kepada pasien/keluarga pasien tentang kondisi dan pelaksanaan keperawatan yang di lakukan
Diharapkan pengetahuan pasien dan keluarga pasien akan bertambah
2.
Libatkan kelurga dalam pengambilan keputusan dan perencanaan

Memungkinkan keluarga pasien menjadi bagian integral dari program yang di jalankan.
3.
Tekankan pentingnya rencana rehabilitasi , aktifitas , istirahat terhadap kesembuhan pasien.
Untuk membantu mempercepat proses penyembuhan

4. Implementasi Keperawatan
Sesuai dengan intervensi
5. Evaluasi
Evaluasi adalah proses penilaian pencapaian tujuan serta pengkajian ulang rencana keperawatan. Tujuan evaluasi adalah menentukan kemampuan pasien dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan, menilai efektivitas rencana keperawatan atau strategi asuhan keperawatan.
Dalam proses keperawatan berdasarkan permasalahan yang muncul maka hal-hal yang diharapkan pada evaluasi adalah sebagai berikut :
1)   Menunjukkan perfusi adekuat.
2)   Melaporkan peningkatan toleransi aktivitas.
3)   Menunjukkan peningkatan berat badan atau berat badan stabil dengan nilai laboratorium normal.
4)   Mempertahankan integritas kulit.
5)   Mengembalikan pola normal dari fungsi usus.
6)   Infeksi tidak terjadi.
7)   Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit, prosedur diagnostik, dan rencana pengobatan.









----DAFTAR PUSTAKA

Bakta, I.M ., 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC.
Corwin, Elizabeth J. (2001). Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian pasien. ed.3. EGC : Jakarta
Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., Moss, P.A.H., 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta : EGC.
Smeltzer, Suzanne C. (2002). Keperawatan Medikal – Bedah Brunner & Suddarth (Edisi Kedelapan). Volume 2. Jakarta: EGC.


i